Perang Salib[2][3][4] adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim
[5][6] di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut
Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan
gereja dan kerajaan Latin di
Timur.
[7]
Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur
dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji
mereka.
[8]
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang
merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan
tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik,
ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai
masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan
Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti
Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota
Byzantium,
Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu.
Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja
Katolik,
dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk
secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke
Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan
Muslim
dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu
faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara
Salib dengan
Kesultanan Rum yang
Muslim dalam
Perang Salib Kelima.
[sunting] Situasi di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di
Eropa Barat sebelumnya pada
Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh
Kekaisaran Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan
Muslim Turki. Pecahnya
Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan
Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa
Viking,
Slavia, dan
Magyar,
telah membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara
salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat.
Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan
Pax Dei dan
Treuga Dei.
Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman
selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan
untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik.
Pengecualiannya adalah saat terjadi
Reconquista di
Spanyol dan
Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari
Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan
Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar
Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063,
Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum
Kristen Iberia untuk memerangi kaum
Muslim.
Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan bagi
siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan
yang datang dari
Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum
Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar
Michael VII kepada
Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar
Alexius I Comnenus kepada
Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang
intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara
Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib
dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai
“tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya
Kontroversi Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama
Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam
Kontroversi Investiture
berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat menjadi
terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis.
Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik
pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh
propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil
kembali Tanah Suci – yang termasuk
Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan
Antiokhia
(kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya,
“Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi
dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara
menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan
dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari
“penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut
Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka
meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa
sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu
teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk
Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada
apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya. Ini
berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka
orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan
“penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah
sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya
sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa
masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor
inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama
dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
[sunting] Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa
Arab terhadap
Palestina
dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya
tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum
Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah
Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di
Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya
Yerusalem–yang
berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi
invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya
seperti bangsa
Viking dan
Magyar.
Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil
memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran
Byzantium yang beragama
Kristen Ortodoks Timur.
[9]
Penyebab langsung dari
Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar
Alexius I kepada
Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran
Byzantium dan menahan laju invasi tentara
Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut.
[11][12] Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan
Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan
Alp Arselan di
Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara
Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara
Romawi,
Ghuz,
al-Akraj,
al-Hajr,
Perancis dan
Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah
Asia Kecil (Turki modern). Meskipun
Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja
Katolik Barat dengan gereja
Ortodoks Timur,
Alexius I
mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun,
respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi
Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran
Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali
Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut
Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti
Fatimiyah yang berkedudukan di
Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika
Perang Salib Pertama didengungkan pada 27 November 1095
[13], para pangeran
Kristen dari
Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan
Galicia dan
Asturia, wilayah
Basque dan
Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa
Moor Toledo kepada
Kerajaan León
pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan
penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen
yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk
dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka
tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para
ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing
yang dipenuhi oleh orang
kafir
sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh
faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di
Timur. Ahli sejarah
Spanyol melihat bahwa
Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter
Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
[sunting] Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang
Eropa, sebagian besar bangsa
Perancis dan
Norman[14], berangkat menuju
Konstantinopel, kemudian ke
Palestina.
Tentara Salib yang dipimpin oleh
Godfrey,
Bohemond, dan
Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan
Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (
Edessa). Di sini mereka mendirikan
County Edessa dengan
Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai
Antiokhia dan mendirikan
Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki
Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M
[15] dan mendirikan
Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota
Akka (1104 M),
Tripoli (1109 M) dan kota
Tyre (1124 M). Di
Tripoli mereka mendirikan
County Tripoli, rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya, Syeikh
Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa
Mosul dan
Irak, berhasil menaklukkan kembali
Aleppo,
Hamimah, dan
Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh
Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali
Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
[sunting] Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib kedua.
[16][17] Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja
Perancis Louis VII dan raja
Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di
Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki
Damaskus.
Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya.
Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang
oleh Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan
dinasti Ayyubiyah di
Mesir
tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai
Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali
Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam
Pertempuran Hittin,
Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan
Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian
berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88
tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal
Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh
Conrad dari Montferrat
berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak
dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti
Arsuf dan
Jaffa.
[sunting] Perang Salib III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum
Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh
Frederick Barbarossa raja
Jerman,
Richard si Hati Singa raja
Inggris, dan
Philip Augustus raja
Perancis memunculkan Perang Salib III.
[18]
Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda.
Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa -
saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat,
melewati Konstantinopel. Namun,
Barbarossa meninggal di daerah
Cilicia
karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip.
Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai
Siprus dan mendirikan
Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut
Akka
yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik
ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan
hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak
mampu memasuki
Palestina
lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada
tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan
Shalahuddin yang disebut dengan
Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke
Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
[19]
[sunting] Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan
Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja
Jerman,
Frederik II, mereka berusaha merebut
Mesir lebih dahulu sebelum ke
Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang
Kristen Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki
Dimyath, raja
Mesir dari
Dinasti Ayyubiyah waktu itu,
al-Malik al-Kamil,
membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan
Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum
muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada
Kristen di
Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan
al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh
Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi
Dinasti Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh
Baibars,
Qalawun, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah. Pada masa merekalah
Akka
dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang
Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di
Spanyol, sampai umat
Islam terusir dari sana.
[sunting] Kondisi sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang
Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi
Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk
Kristen Ortodoks Timur. Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota
Konstantinopel
pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta.
Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal
dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib
yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam
gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas
selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota
Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa
Ositania (
Perancis Selatan) yang berpaham
Katarisme pada
Perang Salib Albigensian,
ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh
pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang
terjadi di
Katolik Eropa.
Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde
Ksatria Hospitaller. Sesudah kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini menguasai
Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke
Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh
Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat
dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma.
Perang Salib juga menimbulkan kenangan pahit.
[20] Banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.
[21][22]
[sunting] Politik dan Budaya
Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada
Abad Pertengahan.
[23] Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan
Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari
negara-bangsa modern) sedang pesat di
Perancis,
Inggris,
Burgundi,
Portugal,
Castilia dan
Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan
budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara
Semenanjung Iberia dengan
Sisilia,
banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan
arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang
salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa,
seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari
batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak
lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan,
tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama
Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa
Arab termasuk perkembangan
aljabar,
lensa
dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di
universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa
Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang
besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang
sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan
Romawi,
terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang
berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib
mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang
ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di
Itali, karena banyak negara-kota di
Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara
Salib, baik di
Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas
Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke
Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam
rempah-rempah,
gading,
batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari
mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan
Katolik
Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran
Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan
tentara Salib pada
Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan yang dilakukan oleh
Enrico Dandolo yang terkenal, penguasa
Venesia dan sponsor
Perang Salib Keempat.
Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4.
Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204,
Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan
akhirnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan
Katolik Roma
terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh
terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat
disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas
kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik
Roma utama dalam menyelamatkan Katolikisme, yaitu tujuan yang utama
adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba
menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang Salib Keempat
dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh bantuan
logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu,
Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum
dikenang sebagai suatu kesalahan besar.
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam.
[24] Dimana persamaan antara “Bangsa
Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan
Saladin, seorang ksatria
Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan
Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di
Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang salib, menurut ahli sejarah
Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Menurut
Peter Mansfield,
“Diserang dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri.
Ia menjadi sangat sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi
semakin buruk seiring dengan perkembangan dunia, suatu proses dimana
dunia Islam merasa dikucilkan, terus berlanjut.”
[sunting] Komunitas Yahudi
Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang menggambarkan pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni
Judenhut) oleh tentara Salib
Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa
Yahudi[25][26][27] di kota-kota di
Jerman dan
Hongaria, belakangan juga terjadi di
Perancis dan
Inggris, dan pembantaian Yahudi di
Palestina dan
Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah
Anti-Semit,
meski tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan
melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam
dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad.
Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat.
[28]
Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan
pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan
jalan bagi legalisasi
Anti-Yahudi oleh
Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi
Anti-Semit abad pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di
antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon
bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative of The Old
Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan
“The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.
[sunting] Pegunungan Kaukasus
Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib.
[29] Di
Pegunungan Kaukasus di
Georgia, di dataran tinggi
Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut
Khevsurs
yang dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara
salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan
terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki
abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai
masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli
ethnografi Rusia,
Arnold Zisserman,
yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus,
percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan
dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa,
kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika
Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935.
- ^ (Indonesia) Bosch, David J.. Transformasi Misi Kristen. BPK Gunung Mulia. hlm. 351. ISBN 9794159492. http://books.google.co.id/books?id=34NEsv8_c-IC&lpg=PA351&dq=perang%20salib&pg=PA351#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-415-949-1
- ^ (Indonesia) Gerald O'C, SJ. & Edward G Farrugia, SJ. (1996). Kamus teologi. Kanisius. hlm. 249. ISBN 9794975249. http://books.google.co.id/books?id=CoEoejVwL1sC&lpg=PA249&dq=perang%20salib&pg=PA249#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-497-524-4
- ^ (Indonesia) Van Den End Th.. Harta Dalam Bejana. BPK Gunung Mulia. hlm. 111. ISBN 9794158380. http://books.google.co.id/books?id=qkFk8S41yqgC&lpg=PA111&dq=perang%20salib&pg=PA111#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-415-838-8
- ^ (Indonesia) An Illustrated Guide to The Lost Symbol: Panduan Berilustrasi Untuk Novel The Lost Symbol. PT Mizan Publika. hlm. 37. ISBN 6028811106. http://books.google.co.id/books?id=5581Y-zHXKwC&lpg=PA37&dq=perang%20salib&pg=PA37#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-602-8811-10-1
- ^ (Indonesia) Ward, Keith. Benarkah Agama Berbahaya. Kanisius. hlm. 90. ISBN 9792123008. http://books.google.co.id/books?id=rbbORbfvYuAC&lpg=PT91&dq=perang%20salib&pg=PT91#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-21-2300-5
- ^ (Indonesia) Husaini, Adian (2004). Tinjauan historis konflik Yahudi Kristen Islam. Gema Insani. hlm. 155. ISBN 9795618814. http://books.google.co.id/books?id=bBZ5eukJ9jUC&lpg=PA155&dq=perang%20salib&pg=PA155#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-561-881-2
- ^ (Indonesia)M. Yahya Harun. 1987. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa. Yogyakarta: CV. Bina Usaha Yogyakarta. Hlm. 4.
- ^ (Indonesia) Ensiklopedia Anak-anak Muslim. Grasindo. hlm. 46. ISBN 9790259778. http://books.google.co.id/books?id=9bD8K9yHAfIC&lpg=PA46&dq=perang%20salib&pg=PA46#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-025-977-5
- ^ (Indonesia) Sholikhin, K. H. Muhammad. Menyatu Diri Dengan Ilahi. Penerbit Narasi. hlm. 48. ISBN 979168216X. http://books.google.co.id/books?id=6iFeOQH-SrgC&lpg=PA47&dq=perang%20salib&pg=PA48#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-16821-6-9
- ^ (Indonesia) The Da Vinci Code & Tradisi Gereja. Kanisius. hlm. 126. ISBN 9792116222. http://books.google.co.id/books?id=Q5qovBKMJ0QC&lpg=PA126&dq=perang%20salib&pg=PA126#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-21-1622-9
- ^ (Indonesia) Stephen Lang J. & Randy Peter. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen. BPK Gunung Mulia. ISBN 97992901. http://books.google.co.id/books?id=oGFFNbHiABkC&lpg=PA55&dq=perang%20salib&pg=PA54#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-9290-16-8
- ^ (Indonesia) Hitti, Philip K. (2005). History of the Arabs: Rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah peradaban Islam. Penerbit Serambi. hlm. 811. ISBN 9793335971. http://books.google.co.id/books?id=9twFPOygpQAC&lpg=PA808&dq=perang%20salib&pg=PA811#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-3335-97-1
- ^ (Indonesia) Michael Collins & Matthew A.Price. THE STORY OF CHRISTIANITY, Menelusuri Jejak Kristianitas. Kanisius. hlm. 108. ISBN 9792112154. http://books.google.co.id/books?id=EG_4Yk-s2tQC&lpg=PA108&dq=perang%20salib&pg=PA108#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-21-1215-3
- ^ (Indonesia) Kumoro, Bawono. Hamas, Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionisme Israel. Mizan Pustaka. hlm. 35. ISBN 9794335509. http://books.google.co.id/books?id=H0czHghK2p4C&lpg=PT37&dq=perang%20salib&pg=PT36#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-433-550-5
- ^ (Indonesia) Wellem, Frederiek Djara (2004). Kamus sejarah gereja. BPK Gunung Mulia. hlm. 351. ISBN 9796871394. http://books.google.co.id/books?id=-fH7_6rQnCsC&lpg=PA352&dq=perang%20salib&pg=PA351#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-687-139-1
- ^ (Indonesia) Dirks, Dr. Jerald F.. Abrahamic Faiths. Penerbit Serambi. hlm. 195. ISBN 9791112339. http://books.google.co.id/books?id=ksrCtKweS2kC&lpg=PA195&dq=perang%20salib&pg=PA195#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-1112-33-8
- ^ (Indonesia) H. Berkhof, I.H. Enklaar (1986). Sejarah gereja. BPK Gunung Mulia. hlm. 83. ISBN 9794150975. http://books.google.co.id/books?id=lib1_ZD-5p0C&lpg=PA83&dq=perang%20salib&pg=PA83#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978979415097
- ^ (Indonesia) Iqbal, Akhmad. Perang Perang Paling Berpengaruh Didunia. Jogja Bangkit Publisher. hlm. 72. ISBN 6028620270. http://books.google.co.id/books?id=o6PdJaF-KKwC&lpg=PA73&dq=perang%20salib&pg=PA72#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-602-8620-27-7
- ^ (Indonesia) Husaini, Adian (2005). Wajah peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal. Gema Insani. hlm. 195. ISBN 9795619926. http://books.google.co.id/books?id=nn8cODFdNEcC&lpg=PA195&dq=perang%20salib&pg=PA195#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-561-992-5
- ^ (Indonesia) Smith, Daniel L.. Lebih Tajam dari Pedang. Kanisius. hlm. 248. ISBN 9792112529. http://books.google.co.id/books?id=YqGYxfZ0aKQC&lpg=PA248&dq=perang%20salib&pg=PA248#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-21-1252-8
- ^ (Indonesia) Pieris, John (2004). Tragedi Maluku: sebuah krisis peradaban : analisis kritis aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 205. ISBN 9794615137. http://books.google.co.id/books?id=7TF7we23ho4C&lpg=PA250&dq=perang%20salib&pg=PA250#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-461-513-3
- ^ (Indonesia) Fletcher, Richard. Relasi Damai Islam-Kristen. Pustaka Alvabet. hlm. 92. ISBN 9793064730. http://books.google.co.id/books?id=TXiwEAB305oC&lpg=PA92&dq=perang%20salib&pg=PA92#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-3064-73-4
- ^ (Indonesia) Van Den End Th. Dr.. Sejarah Perjumpaan Gereja Dan Islam. BPK Gunung Mulia. hlm. 80. ISBN 9799581028. http://books.google.co.id/books?id=_f_IcsZvr-QC&lpg=PA80&dq=perang%20salib&pg=PA80#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-95810-2-0
- ^ (Indonesia) Lefebure, Leo D.. Penyataan Allah, Agama Dan Kekerasan. BPK Gunung Mulia. hlm. 197. ISBN 9796871599. http://books.google.co.id/books?id=leNag2eXtssC&lpg=PA197&dq=perang%20salib&pg=PA197#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-687-159-9
- ^ (Indonesia) Ira C,ph.d.. Semakin Dibabat Semakin Merambat. BPK Gunung Mulia. hlm. 108. ISBN 9796870002. http://books.google.co.id/books?id=bjBpVEPGvLAC&lpg=PA107&dq=perang%20salib&pg=PA108#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-687-000-4
- ^ (Indonesia) Hillenbrand, Carole (2005). Perang salib: sudut pandang Islam. Penerbit Serambi. hlm. 85. ISBN 9791600708. http://books.google.co.id/books?id=yJd7gyZkX0cC&lpg=PP1&dq=perang%20salib&pg=PA85#v=onepage&q&f=false. ISBN 978-979-16007-0-5
- ^ (Indonesia) Armstrong, Karen (2003). Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk. Penerbit Serambi. hlm. 11. ISBN 9793335327. http://books.google.co.id/books?id=dfDGACMpDBAC&lpg=PP1&dq=perang%20salib&pg=PA12#v=onepage&q&f=false. ISBN 978-979-3335-32-2
- ^ (Indonesia) Wessels, Anton. Arab Dan Kristen. BPK Gunung Mulia. hlm. 194. ISBN 9796870622. http://books.google.co.id/books?id=2vTgl0ma3ukC&lpg=PA194&dq=perang%20salib&pg=PA194#v=onepage&q=perang%20salib&f=false. ISBN 978-979-687-062-2